B U K I T T I N G G I
detail news

01 Jun,2022 11:06

WARGANET

Perilaku warganet Indonesia kembali menuai perhatian warganet dunia. Kali ini berkaitan dengan ulasan negatif yang diberikan warganet Indonesia pada aplikasi Google Map terhadap Sungai Aare di Swiss, lokasi hilangnya Emmeril Kahn Mumtaz, putra dari Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil, yang akrab disapa Kang Emil, pada Kamis, 26 Mei 2022. Aksi nyeleneh warganet Indonesia tersebut bahkan menjadi sorotan media Swiss sebagaimana diwartakan Detik.com (29 Mei 2022)


Mengekspresikan kesedihan dengan mengirimkan ungkapan rasa simpati maupun doa atas suatu peristiwa adalah hal yang lumrah. Tetapi, kita boleh sepakat ataupun tidak, mengekspresikan kesedihan dengan memberikan ulasan negatif sebagaimana yang dilakukan warganet Indonesia terhadap Sungai Aare, Swiss, di Google Map, adalah wujud ekspresi yang salah kaprah atau keblinger.


Ada apa dengan warganet Indonesia?       


Pada tahun 2021, Microsoft menerbitkan hasil penelitian berjudul Digital Civility Index (DCI) atau Indeks Kesopanan Digital. Penelitian yang dilakukan pada tahun 2020 terhadap 16 ribu koresponden di 32 negara itu menempatkan warganet Indonesia di urutan 29 dari 32 negara untuk tingkat kesopanan netizen di Asia Tenggara (CNNIndonesia.com, 26 Februari 2021). Dengan kata lain, hasil penilitian tersebut menyatakan warganet Indonesia merupakan warganet yang ‘TIDAK SOPAN’ di jagad media sosial se-Asia Tenggara. 


Selang beberapa waktu setelah hasil penelitian itu dirilis, “kegaduhan” terjadi di dunia maya. Warganet Indonesia menyerbu dan merundung akun media sosial Microsoft. Bahkan, dahsyatnya serbuan komentar warganet Indonesia tersebut sampai-sampai membuat Microsoft menonaktifkan fitur ‘comment’ pada akun media sosialnya ketika itu. Luar biasa…sekaligus memiriskan, bukan? Memiriskan karena hal tersebut seakan membuktikan kesahihan hasil penelitian tersebut.  


Warganet Indonesia memang unik. Di satu waktu, mereka bisa terpolarisasi, gaduh antara sesama untuk hal-hal yang terkadang tidak substantif. Seperti, ketika menanggapi hal sereceh ‘apakah cara makan bubur yang enak itu diaduk atau tidak’. Namun, di lain waktu, mereka bisa kompak. Contohnya, ya, seperti yang terjadi kepada Microsoft tadi. Atau, di saat pertandingan sepak bola, terutama partai el classico Indonesia vs Malaysia.


Dalam jagad media sosial, Indonesia memang termasuk “superior” dari jumlah pengguna. Berdasarkan riset DataReportal sebagaimana dilansir dari Suara.com, pengguna media sosial di Indonesia per-Januari 2022 mencapai 191,4 juta, atau setara dengan 68,9% dari total populasi Indonesia yang diperkirakan telah mencapai 277,7 juta jiwa. Youtube merupakan platform media sosial yang paling banyak penggunanya di Indonesia, yakni 139 juta. Sedangkan untuk platform yang lain, seperti Facebook sebanyak 129,9 juta, Instagram 99,15 juta, Tiktok 92,07 juta, dan Twitter 18,45 juta. Sungguh jumlah yang bisa membuat warganet negara manapun ketar-ketir ketika “membuka front” dengan warganet Indonesia.


Etika dan Literasi
Iqbal Aji Daryono dalam bukunya Sapiens Di Ujung Tanduk mengibaratkan media sosial tak ubahnya angkringan, atau Ia mengistilahkan angkringan 4.0 (baca: angkringan four point o). Menurutnya, “arsitektur” media sosial memiliki kemiripan dengan arsitektur interior angkringan: tanpa sekat. Di media sosial, layaknya di angkringan, orang bisa “duduk dan berkerumun” dengan bebas, tanpa jarak sosial maupun jarak psikologis (egaliter). Namun, alih-alih terciptanya iklim yang demokratis, seringkali justru bergeser menjadi anarkis. Orang tidak saja bisa bebas berbincang/berpendapat, juga (merasa) bebas untuk mencela bahkan memaki.   


Dari pengamatan Iqbal, yang dalam buku tersebut mengklaim dirinya sebagai ‘praktisi medsos penuh waktu’, poin kritis yang dapat kita tangkap, apakah benar media sosial  merupakan ruang tanpa “sekat”? Ternyata hal tersebut tidak begitu adanya. “Sekat” itu ada, bernama ‘ruang privat’ dan ‘ruang publik’, menurut Santi Indra Astuti, pengajar di Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Islam Bandung. 


Dilansir dari Antaranews.com (1 Februari 2017), Santi berpendapat, warganet Indonesia masih tidak bisa membedakan antara ruang privat dan ruang publik. Menurutnya, walaupun akun media sosial atas nama diri pribadi, tetapi platform (media sosial) itu sendiri merupakan ruang publik. Jadi, apabila Anda termasuk yang sering memasang status “curhat” tentang permasalahan asmara, permasalahan pekerjaan di kantor, dan lainnya di akun media sosial, setop, itu bukan sesuatu yang bisa dibicarakan di ruang publik, menurut Santi. 


Di luar dari faktor wujud fisik, dunia maya (termasuk media sosial) tak ubahnya dengan dunia nyata. Bagaimana kita berinteraksi di dunia maya juga tidak terlepas dari norma tata krama, yang sering diistilahkan dengan ‘netiquette’ (internet etiquette). Beberapa contoh netiquette, antara lain: jangan berkata kasar, menyebar kebencian, dan lain sebagainya.          


Berselancar di jagad media sosial tanpa dibarengi dengan literasi yang memadai bisa diibaratkan seperti meminum obat ketika sakit, tanpa membaca petunjuk pemakaian. Alih-alih sembuh, boleh jadi penyakit yang sedang menjangkit enggan untuk enyah. Sama halnya dengan “menelan mentah-mentah” informasi yang tersaji di media sosial, ada kalanya memiliki risiko atau konsekuensi yang tidak mengenakkan bagi kita. Oleh karena itu, ada baiknya kita melakukan cek silang atau mencari referensi lain terhadap informasi yang kita ragukan kebenarannya.   

 

Jagad media sosial bisa menjadi tempat yang memberikan pencerahan sekaligus mencerdaskan. Selain penuh dengan informasi yang menghibur, media sosial juga sarat dengan informasi yang bisa menambah wawasan serta pengetahuan. Di era digital seperti sekarang ini, informasi telah menjadi “barang konsumsi”. Entah berapa ratus informasi yang berseliweran di lini masa media sosial kita setiap harinya. Dan, entah berapa banyak pula yang kita konsumsi. Ibarat makanan, jika mengkonsumsi makanan yang bergizi bisa membuat tubuh kita sehat, maka akan sama halnya jika kita mengkonsumsi informasi yang benar, tentu informasi tersebut dapat mencerdaskan pikiran. Bagaimanapun juga, we are what we consumed. [*]

 

Denil Dahler - Pranata Humas Ahli Muda pada Dinas Komunikasi dan Informatika